Rabu, 12 Oktober 2011

Mengenal Tan Malaka


 “Seiring dengan semakin menua usia, saya merasa ada sesuatu yang kurang dalam diri saya. Sesuatu yang saya kira akan sangat bermanfaat untuk disumbangkan bagi kepentingan membangun bangsa ini dari amnesia kolektif. Kurangnya kepekaan sejarah dan lemahnya daya ingat kita atas masa lalu menjadi penyebab minimnya kesadaran kita terhadap sejarah lokal kita sendiri” (Ahmad Syafii Maarif)
Kutipan diatas sengaja penulis kutip sebagai mukadimah  dan sekaligus sindirin bagi kita yang terlalu lama terbuai dalam lamunan yang panjang. Amnesia, bisa dikatakan penyakit akut yang sedang melanda negeri ini. Tidak tahu apa sebabnya, kebanyakan individu ataupun kelompok sangat gampang sekali untuk melupakan sesuatu kejadian atau peristiwa yang menyangkut kehidupannya. Wajar kalau kasus di negeri ini tidak ada yang selesai satupun, lihat saja kasus pelanggaran HAM dan Korupsi. Tidak hanya itu, sejarah masa lalu dan perjuangan pahlawan untuk memerdekan dan mendirikan bangsa ini juga ikut hanyut dalam amnesia kolektif yang sangat panjang, tidak tahu dimana ia akan berlabuh. Padahal kata bung karno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.”  
Teman, sudah saatnya kita bangkit dan bangun dari lamunan itu, tidak baik kalau kita terus-menerus tidur atau melamun yang tidak akan ada ujungnya. Mari kita baca dan lihat kembali kebelakang mutiara-mutiara yang tercecer dimasa lalu. barangkali diantara mutiara yang hilang itu, ada yang bisa dijadikan sebagai perhiasan bagi kita sendiri ataupun orang lain.
Sebenarnya masa lalu adalah sebagai sebuah langkah awal untuk menatap dan penentu keberhasilan seseorang dimasa yang akan datang. Orang yang sukses hari ini, berati masa lalu dihiasi dan dipenuhi dengan kegiatan yang bermanfaat. Sebaliknya, orang yang gagal, berati ia malas dan suka membuang waktu dengan kegiatan yang tidak bermanfaat di masa lalunya.
Akan tetapi kebanyakan kita lupa dan abai terhadap masa lalu itu, kita masih beranggapan “yang lalu biarlah berlalu”. Padahal gerak dan cara berpikir kita juga kesadaran berbangsa sering ditentukan oleh peristiwa-peristiwa kecil yang terlewatkan. Buya Syafii Maarif menegaskan, “generasi muda harus belajar dari masa lalu, sebab sangat banyak I’tibar dan amstal yang dapat dijadikan guru untuk melihat diri kita sekarang ini, baik sebagai bangsa maupun sebagai bagian dari sejarah.”
Oleh sebab itu, sebagai generasi muda sangat penting rasanya untuk kembali memungut kembali satu persatu mutiara-mutiara yang hilang ditelan masa, salah satunya adalah Tan Malaka. Nama beliau bagi sebagian kalangan, masih terasa janggal dan asing. Bagaimana tidak, namanya dihapus dari buku-buku sejarah karena beberapa tuduhan yang dialamatkan kepadanya. sejak itu kita tidak tahu lagi siapa sebenarnya tan malaka dan dari mana ia berasal. Bahkan, penulis sendiri sebelumnya juga tidak tahu sejatinya tokoh yang satu ini, padahal kampung beliau sangat berdekatan dengan rumah penulis, sangat ironis bukan.
Ibrahim (Tan malaka) lahir di pandan Gadang, suliki, sumatera barat tahun 1896 dan Meninggal tahun 1949, Meskipun sudah meninggal namanya masih tetap hidup bahkan semakin terkenal paling tidak di eropa, sayang di negerinya sendiri tidak begitu terkenal. Tan Malaka terlahir dari rahim minangkabau yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai agama, adat, dan moral. Daerah yang sangat dikenal dengan keelokan pribadi masyarakatnya serta menyelasaikan segala permasalahan dengan musyawarah dan mufakat. Disana, tidak ada yang memerintah secara otoriter, setiap perkara harus diselasaikan dengan musyawarah dan demokrasi. Siapapun, baik laki-laki maupun perempuan berhak berbicara dan mengeluarkan pendapat dalam suatu forum, bisa dikatakan nilai-nilai demokrasi dan egaliter sudah lama tertanam dalam sanubari masyarakat minang.
Kondisi sosial, kultur, dan geografis minangkabau secara tidak langsung mengkontruksi cara berpikir dan tindak prilaku Tan Malaka sehari-hari. Contoh kecilnya, beliau pernah bertengkar dengan temannya yang suka mencaci maki nyonya kos dan mengeluarkan kata-kata kotor yang tak pantas buat perempuan. Sejak itu Tan Malaka dipanggil dengan De Tijger. Watak orang minang yang suka merantau, bahkan disebagian daerah bisa menjadi aib kalau ada pemuda dewasa yang masih tinggal di rumah ibunya dan tidak mau merantau ke daerah lain. Hal ini menjadi pendorong dan bahan bakar bagi tan malaka untuk melanjutkan pendidikannya di luar negeri.  keinginannya itu terwujud melalui bantuan gurunya di kweekschool , yang bernama  G.H. Horensma.
Beliau merantau selama dua puluh enam tahun (1913-1949), tan malaka benar-benar merantau cina, pergi dan tidak pernah pulang ke kampung. Masa-masa hidupnya ia jalani dengan penuh penderitaan, kegigihan, dan kegetiran dalam memperjuangkan nasib negara ini dan perlu dicatat bahwa ia mati ditangan bangsanya sendiri.
Tan Malaka memang telah tiada, sangat tidak mungkin kalau wujudnya akan hadir kembali ditengah-tengah bangsa yang sarat denga masalah ini. tetapi, bukanlah suatu hal yang mustahil suatu saat akan muncul ibrahim yang baru, orang yang siap membela dan mengabdi sampai tetes darah terakir buat negaranya. Untuk mewujudkan cita-cita tentu harus ada upaya dan kemauan dari kita khususnya generasi muda untuk kembali membaca dan mempelajari karya-karya beliau dan mengkontekstualisasikan dengan kondisi sekarang ini.
Karena, kalau ditelisik lagi, ide-ide dan pemikaran Tan Malaka di Masa lalu sangat banyak relevansinya dengan konteks ke-Indonesiaan saat ini. keberhasilan Tan Malaka dalam menyatukan gerakan Pan Islamisme, Komunis, dan Nasionalis patut kita hargai dan dicontoh. Apalagi melihat indonesia yang masyarakatnya mempunyai berbagai macam ideologi dan partai, sangat rawan sekali untuk terjadinya konflik. Oleh karenya diperlukan ideologi pemersatu agar tidak terjadi sengketa diantara kita. namun, pertanyaannya ideologi apakah yang bisa menjadi alat pemersatu bangsa ini? kalau boleh penulis menjawab, “ideologi yang berlandaskan persamaan nasib dan tujuan”.  
Sepak terjang yang dilakukan Tan Malaka dalam menyatukan Ideologi yang berbeda-beda, misalnya Pan Islamisme dan Nasionalis,   bisa dilihat dalam pidato beliau, sebagai berikut:
“Pan Islamisme tidak lagi mempunyai maknanya yang asli,,,Pan Islamisme sekarang berati perjuangan kemerdekaan nasional, sedangkan islam merupakan segala sesuatu bagi kaum muslim, bukan hanya agama saja, tetapi juga negaranya, ekonominya, makanannya. Dengan demikian Pan Islamisme berati bersatunya segala bangsa muslim, perjuangan kemerdekaan, tidak hanya untuk bangsa arab tetapi juga bangsa hindustan, jawa, dan semua muslim yang tertindas.” (pidato tan malaka dalam Poeze 1988)
Kemudian,  keteguhan beliau dalam memegang kearifan lokal juga harus kita realisasikan untuk zaman sekarang ini. misalnya, bagi Tan Malaka, semua manusia di dunia ini sama, tidak ada yang bisa memaksa kehendaknya dan menjajah orang ataupun sebuah negara. Makanya beliau sangat anti terhadap penjajahan dan perbudakan yang dilakukan kaum kapitalis. Tidak hanya itu, tan malaka yang nota bene-nya seorang yang berideologi komunis, ketika di Rusia juga tidak setuju dengan sikap otoriter yang dijalankan Stalin. Pemerintahan otoriter sangat bertentangan sekali dengan semangat egaliter dan demokrasi yang tertanam dalam dirinya sejak kecil. Hal ini Sebagaimana yang diungkapkan Bung Hatta, berikut kutipannya:
“Pada bertukar-pikiran itu terbentang mataku, bahwa pada suatu waktu tan malaka yang lurus tulang punggung keyakinannya akan bertentangan dengan stalin, mungkin kelanjutannya dikeluarkan dari organisasi komunisme yang dikuasai oleh stalin. Baik juga apabila ia menjauhi stalin dan pergi ke Timur Jauh.” (Hatta, 1979: dalam zulhasril nasir)   
Disini terlihat jelas, Tan Malaka walaupun sudah melanglang buana ke berbagai negara, namun kearifan lokal yang terdapat di daerahnya sendiri tidak ia lupakan. Tak seperti kita yang selalu lupa dengan tradisi dan kearifan lokal yang kita miliki ketika sudah membaur dengan orang lain ataupun hidup di lingkungan yang berbeda. Seperti kata pepatah “kacang lupa kulitnya.” Terakhir sebagai penutup dari tulisan ini, penulis ingin mempersembahkan sebuah ungkapan dan sebuah renungan dari Tan Malaka ketika beliau harus terusir dari negerinya sendiri, sebagaimana berikut ini:
“Indonesia baru diingat bumi serta alamanya, kalau kita anak Indonesia, di salah satu bagian bumi ini bergetar kedinginan menghadapi sejuk meniup salju di kelilingi bukit batu, tandus atau pohon tak berdaun, gundul diselimuti salju. Barulah kita insyaf pada artinya sang matahari, yang selalu menyadari kita dan tumbuhan kehijauan yang menyegarkan pandangan mata.”
“Masyarakat indonesia baru kita ingat dan begini, kalau kita berda ditengah-tengah bangsa lain yang setengahpun kita tak mengerti bahasanya, kegirangannya, atau kesusahannya: barulah kita bandingkan dengan keadaan kita ketika masih berada di tengah-tengah keluarga atau teman seperjuangan.”


Darus-Sunnah, sabtu 21 mei 2011





  
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar