Minggu, 30 Oktober 2011

Membaca Kifayatul Akhyar secara Manhaji




Hukum Islam atau yang sering disebut Fiqih merupakan disiplin ilmu yang sangat diminati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini tampak dari tema-tema yang diangkat dalam pengajian umum maupun forum-forum diskusi di pesantren yang kerap menjadikan Fiqih sebagai pokok pembahasannya. Bahkan terkesan kalau Fiqih merupakan ajaran yang paling inti dalam Islam. Akibatnya, menjadi sebuah aib atau bahan tertawaan jika ada santri setelah keluar dari pesantren tidak paham Fiqih atau tak mampu membaca kitab-kitabnya.
Posisi Fiqih bak penguasa dalam pemerintahan yang memiliki otoritas untuk melakukan intervensi kepada siapa saja. Sehingga proplem apapun bisa dipandang dan dijelaskan dalam perspektif Fiqih. Orang pesantren tidak perlu lagi belajar Ilmu Politik untuk menjelaskan bagaimana pemerintahan yang ideal. Akan tetapi, mereka cukup mengacu kepada kaidah Fiqih, “Tasharruful imam ‘alar-ra’iyyah, manuthun bil mashlaha. Begitu juga dalam membahas toleransi, mereka tidak perlu kuliah khusus toleransi untuk mengetahui kenapa toleransi itu adalah sebuah keharusan, tapi, cukup mengutip kaidah dalam Fathul  Mu’in, “daf’ dlarar ma’shumin.”
Sekilas hal ini menimbulkan kesan bahwa Fiqih terlalu menghegomoni dalam tubuh orang Indonesia, khususnya pesantren. Sebab, semuanya serba dijelaskan dengan Fiqih. Seolah-olah pesantren “lebay” dan terlalu kreatif dalam improvisasi. Apa hubungan Fiqih dengan Demokrasi, HAM, dan toleransi? Apakah dalam Fiqih dibahas mengenai Demokrasi, HAM, dan toleransi? Tentu saja tidak, namun begitulah kehebatan orang-orang pesantren dalam memahami turas agar relevan dengan konteksnya. Singkatnya, “al-muhafazhah alal-qadim ash-shalilh wal akhdz bil jadid al-ashlah.”
Fiqih bisa diibarat dengan pisau bermata dua, ia akan menjadi progresif apabila dibaca secara cerdas. Sebaliknya, bagi pembaca yang “salah paham” dengan Fiqih ia akan terjebak kepada taqlid yang membabi buta, atau kalau tidak ia akan menjadi orang yang anti Fiqih. Mengapa? Kita tahu bahwa kebanyakan kitab-kitab Fiqih yang diajarkan di berbagai pesantren di Indonesia, lebih kepada kitab yang ditulis dengan model komentar terhadap ulama salaf (model syarah).  Tradisi ini mulai perkembang pada era kemunduran umat Islam tepatnya ketika runtuhnya kota Bagdhad. Pada dekade ini, kebanyakan ulama tidak lagi produktif dalam menghasilkan karya-karya yang orginal, akan tetapi mereka lebih fokus dalam mengomentari karya ulama sebelumnya. Akhirnya, kita tidak lagi menemukan orang-orang seperti Imam Syafi’i, selaku penggagas Usul Fiqih dan lainnya pada tempo ini.
Kitab Fiqih yang ada dihadapan mata kita saat ini adalah hasil dari jerih payah ulama klasik. Pastinya, kitab ini ditulis dalam tempo waktu yang berbeda dengan saat ini. perbedaan waktu tentu juga berpengaruh terhadap kejadian, peristiwa, dan kondisi sosial yang ada pada waktu itu. walhasil, realitas ketika kitab terlahir dari pena penulisnya tidak  berbanding lurus dengan apa yang dihadapi oleh pembacanya saat ini.
Fakta semacam inilah yang penulis maksud dengan Fiqih ibarat bermata dua. Orang akan menjadi anti Fiqih atau jatuh kejurang taqlid ketika ia tidak memahami kapan Fiqih itu dibuat dan persoalan apa yang dihadapinya saat itu. bagi si pembaca yang seperti ini, ia kan mengklaim kalau kitab-kitab Fiqih klasik tidak relevan dengan zamannya, sebab tidak membahas persoalan aktual. Kemudian, bagi pembaca yang kedua akan terus menerus jatuh kejurang taqlid dan anti perubahan, karena yang ada dalam kitab Fiqih hanya pendapat-pendapat ulama yang terkadang tidak disebutkan alasan dan argumentasi. Sehingga menjadi sulit bagi kita untuk menumukan pijakan-pijakan rasionalitas dari pendapat yang ia munculkan. Padahal, permasalah selalu berkembang terus menerus tanpa henti, sedangkan teks sangatlah terbatas, demikian Ibn Rusyd menyebutkan.
Disinilah membaca kitab Kifâyatul Akhyâr fî halli ghâyatul ikhtishâr menemukan konteksnya. kitab ini ditulis oleh Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad al-Husaini al-Husni, seorang ulama yang berasal dari Damaskus. Sebenarnya kitab yang ditulis oleh ulama abad 9 ini adalah berupa komentar terhadap kitab ghayâtul ikhtisâr, karya Al-Qadhi Abu Syujak Ahmad al-Husain bin al-Isfahani (533-593 H). Imam al-Husni terbilang ulama yang prolifik sekaligus produktif kala itu, hal ini tampak dari banyaknya karya yang timbul dari ukiran pena beliau. Selain Kifayatul Akhyar beliau memiliki beberapa karya lain, seperti Syarah Tanbîh, Syarah Minhâj,  Syarah Muslim,  Talkhîs Takhrij AHadis Ihya, Talhkhisul Muhimmat,  Qawaid Fiqih,  Ahwalul Qubur, Siyaru Nisa` as-Salaf al-‘Abidat, Ta dibul Qaum, dan lain-lain.
Kifayatul Akhyar bukanlah kitab yang asing ditelinga kita. Kitab ini sudah dibaca berulang kali, bahkan ratusan kali oleh sebagian pesantren maupun kampus. Tapi persoalannya bagaimana cara membacanya, apakah dengan pembacaan taqlidi, “imani,” atau dengan pembacaan kritis-metodologis? Membaca Kifayatul Akhyar dengan model taqlidi atau “imani”, tidak akan menghasilkan sesuatu yang baru dalam kitab ini. sebab, kita hanyalah ibarat penumpang yang tidak tahu akan dibawa kemana. Dengan pembacaan seperti ini juga akan membuat Kifayatul Akhyar teraneliasi dengan konteks kekiniannya. Ia tidak lagi progresif sebagaimana dulu ketika ia dilahirkan oleh penulisnya. Tetapi, bedahlah kitab ini dengan model pembacaan yang ketiga, yakni kritis-metodologis (manhaji).
Jika ditelisik lebih dalam, sebetulnya Imam al-Husni sudah mendidik para pembacanya agar membaca persoalan Fiqih secara manhaji, bukan sekedar taqlid terhadap satu pendapat saja. hal ini dapat dilihat dalam penjelasan yang dipaparkan pada setiap babnya. Misalnya membincang hukum berwudhu` dengan air musyammas (air yang dipanaskan dengan cahaya matahari). Menurut ar-Rafi’i berwudhu`dengan air musyammas hukumnya makruh. Beliau berpendapat dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah, air musyammas dapat menimbulkan penyakit kusta (HR. al-Daraquthni dan al-Baihaqi). Kemudian pendapat ini juga didukung oleh pendapatnya Umar, yang juga memakruhkan berwudhu` dengan air musyammas.
Namun, ketika menjelaskan persoalan ini, imam al-Husni tidak menerima begitu saja pendapat ar-Rafi’i yang juga diamini oleh Abi Syuja`. Beliau melakukan analisa yang tajam terkait hukum Hadis yang dijadikan pegangan oleh ar-Rafi’i dalam mengukuhkan pendapatnya. Menurut mayoritas ahli Hadis, sebagaimana yang juga dijelaskan dalam Syarah Muhadzab, Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah hukumnya dhaif, bahkan ada yang mengklaim Hadis ini maudhu’.  Begitu juga dengan pendapat Umar Bin Khattab, riwayat ini dhaif karena ada rawi yang bernama Ibrahim bin Muhammad, menurut mayoritas ahli Hadis rawi ini adalah dhaif.
Ternyata, perdabatan ini tidak selesai dengan mengklaim kalau riwayat ini dhaif. al-Husni membawa kita kepada persoalan yang lebih pelik lagi. Pasalnya, walaupun mayoritas ahli Hadis berpendapat bahwa Hadis ini ini Dhaif, akan tetapi, menurut as-Syafi’i riwayat ini adalah sahih, pendapat ini juga diamini oleh al-Daraquthni. Kondisi seperti ini membuat kita bimbang diantara dua pilihan, apakah berpatokan kepada as-Syafi’i atau berkiblat kepada mayoritas ahli Hadis? Jelas, perbedaan ini timbul karena berbedanya metodologi yang dipakai ulama dalam menghukumi sebuah Hadis. Oleh sebab itu, kita dituntut untuk menyelesaikan perdebatan ini dengan menganalisa manhaj (metodologi) yang digunakan masing-masing ulama. Bukan hanya sekedar taqlid terhadap satu pendapat tanpa mengetahui argumentasinya. Bisa jadi kesimpulan kita akan sama dengan ulama sebelumnya, bisa jadi tidak. Sebab yang diikuti bukanlah pendapatnya, akan tetapi metodologinya.
Dengan pembacaan model ini akan menjadikan Fiqih lebih aktual dan relevan dengan zamannya. Sehingga persoalan apapun yang muncul akan terjawab, sekalipun itu tidak ditemukan dalam kitab klasik. Perdebatan mengenai hukum air musyammas ialah segelintir dari persoalan yang disinggung dalam Kifayatul Akhyar. Sangat banyak amstal yang harus diungkap dalam kitab ini, yang tidak mungkin untuk dijelaskan dengan keadaan kertas yang serba terbatas ini. Yang terpenting pelajarilah bagaimana metodologi (Mahhaj) yang dipakai al-Husni dalam menjelaskan masalah-masalah Fiqih. Setelah itu, bacalah Kifayatul Akhyar sebagaimana al-Husni membaca.   





قضية القرآن



اتفق المسلمون كلهم ان الإيمان بالقرآن الكريم واجب فمن أنكره كفر. لأن الإيمان بالقرآن ركن من أركان الإيمان، لقوله صلى الله عليه وسلم إذ سئل عن الإيمان: أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم  الأخر وتؤمن بالقدر خيره وشره.[1]
تعريف القرآن
القرآن هو كلام الله المنزل بواسطة جبريل عليه السلام على قلب النبي صلى الله عليه وسلم.  ليخرج الناس من الظلمات إلى النور ولينذر من كان حياء ويحق القول على الكافرين. المتعبد بتلاوته، المحتدى به الناس اجمعين. وقال الجرجاني فى تعريفات، القرآن هو المنزل على الرسول صلى الله عليه وسلم المكتوب فى المصاحف المنقول عنه نقلا متواترا بلا شبهة، والقرآن عند أهل الحق: هو العلم اللدني الإجمالي الجامع للحقائق كلها.[2]
فهمنا من هذا التعريف أن القرآن كلام الله  المنزل على النبي صلى الله عليه وسلم.. وقد اجتمع المتكلمون على أن القرآن هو كلام الله، ولم يختلف فيه. لكنهم إختلفوا: هل هو مخلوق أو غير مخلوق؟ إذا قلنا القرآن غير مخلوق فكان القرآن الذي نشهد في الواقع يتكون من الحرف والصوت، مع أننا نعرف الكلام هو صفة أزلية ليس بحرف ولا صوت ولا يقبل العدم ولا التبعيض ولا التقديم ولا التأخير. وإذا قلنا بخلق القرآن  فيلزم أن الكلام مخلوق وهو صفة لله، ويستحيل أن تكون الصفة مخلوقة محدثة قائمة في ذات الله القديم.
فلذلك، وقع الإختلاف بين المعتزلة والأشاهرة في فهم ماهية القرآن.
القرآن عند المعتزلة
وقالت المعتزلة إن القرآن الكريم كلام الله محدث ومخلوق. وجدوا واجتهدوا فى هذه القضية. لما رأوا انها كانت الباب الذي دخل منه (التثليث) فأفسد توحيد المسيحية الأولى!  ذلك أن القرآن يقرر أن عيس عليه السلام هو كلمة الله، فلو كانت كلمة الله ومن ثم كلامه ومنه القرآن موصوف بلقدم، لتعدد القدماء. ولصحت عقيدة التثليث النصرية! ذلك كان منطلق المعتزلة بقولهم بخلق القرآن، الحرص على نقاء التوحيد.
إن الكلام وحقيقته عندهم، حروف منظومة وأصوات مقطعة شاهدا وغائبا. لذالك هم يفهمون أن الكلام مخلوقا ليس بقدم. إذا كان كلام الله مخلوقا فالقرآن مخلوق أيضا. لكن كيف يمكن أن يكون أحدث الكلام في نفسه؟ لأنه إذا خلق الله الكلم في ذاته فلزم أن تقوم الحوادث في ذاته، وهذا محال.
رغم أن المعتزلة متفقون على كون القرآن مخلوقا. لكنهم اختلفوا في كون خلقه. هل هو جسم أو عرض. منهم يرون أن كلام الله جسم وانه مخلوق، يعني الجسم عندهم صوت مقطع مؤلف مسموع وهو فعل الله وخلقه. ومنهم يرون أن كلام الله عرض وهو مخلوق، وينقسم الأعراض عندهم إلى قسمين، قسم منها يفعله الأحياء وقسم منها يفعله الأموات. ومحالا أن يكون مايفعله الآموات فعلا للأحياء، والقرآن مفعول وهو عرض.    
 أدلة المعتزلة وأهم الأعتراض عليها
يعتمد المعتزلة في آرائهم على أدلة نقلية مستمدة من القرآن، ونذكر فيما يلي:
1.        قال تعالى ö4 È@è% ª!$# ß,Î=»yz Èe@ä. &äóÓx« uqèdur ßÏnºuqø9$# ㍻£gs)ø9$# [3] والقرآن شيئ، فيكون داخلا في عموم لفظ "كل" فيكون مخلوقا.
ونقد على حجة المعتزلة بهذه الآية أن المراد من قوله تعالى "كل شيئ" غير مخلوق. فدخل في هذه العموم أفعال العباد حتما. ولم يدخل في هذه العموم الخالق تعالى وصفاته. ولفظ "كل" يكون في كل موضع يحسبه، ويعرف ذلك بالقرائن كقوله تعالى "كل نفس ذائقة الموت[4]"، هل يعنى نفسه تعالى مع الأنفس التى تذوق الموت، لأن الله ذكر "كل نفس"؟
1.      قال تعالى ".$¯RÎ) çm»oYù=yèy_ $ºRºuäöè% $|Î/ttã öNà6¯=yè©9 šcqè=É)÷ès?[5] ،وزعموا أن "جعل" هنا بمعنى "خلق" فكل موجود مخلوق، والقرآن مجعول فهو مخلوق.
وهذ ا الرغم غير صحيح، لأن لفظ "جعل"إذا كانت بمعنى خلق، فإنه يتعدى إلى مفعول واحد، كقول تعالى "وجعل الظلمات والنور[6]" واذا تعدى إلى مفعولين، لم يكن بمعنى خلق، كقوله تعالى: الذين جعلوا القرآن عضين".[7]
2.      قال تعالى: $tB NÎgŠÏ?ù'tƒ `ÏiB 9ò2ÏŒ `ÏiB NÎgÎn/§ B^yøtC žwÎ) çnqãèyJtGó$# öNèdur tbqç7yèù=tƒ،[8] فأخبر عن القرآن أنه محدث وكل محدث مخلوق.
يرى الإمام أحمد أن المراد بالذكر المحدث في الآية هو ذكر الرسول. وذكر الرسول يجرى عليه الحدث. أما ذكر الله إذا ورد لايجرى عليه الحدث مثل قوله تعالى : "ولذكر الله أكبر."[9]
3.      من أدلة المعتزلة قول الله تعالى حكاية عن موسى عليه السلام:  $£Jn=sù $yg8s?r& šÏŠqçR `ÏB ÃÏÜ»x© ÏŠ#uqø9$# Ç`yJ÷ƒF{$# Îû Ïpyèø)ç7ø9$# ÏpŸ2t»t7ßJø9$# z`ÏB Íotyf¤±9$#.[10] ويزعمون ان الكلام خلقه فى الشجرة فسمعه موسى منها. وهذا دليل الخلق من الشجرة.
وهذا استدلال فاسد، ولو ذكروا ماقبل هذه الكلمة وما بعدها، لعلموا بطلان زعمهم، فإن الله تعالى قال: $£Jn=sù $yg8s?r& šÏŠqçR `ÏB ÃÏÜ»x© ÏŠ#uqø9$# Ç`yJ÷ƒF{$#، والنداء- هو الكلام من بعد. فسمع موسى عليه السلام النداء من حافة الواد. ثم قال تعالى: "في البقعة المباركة من الشجرة" أي النداء كان في البقعة المباركة عند الشجرة، كما تقول "سمعت$yJ¯RÎ) ßxŠÅ¡yJø9$# Ó|¤ŠÏã ßûøó$# zNtƒótB Ú^qÞu «!$# ÿ¼çmçFyJÎ=Ÿ2ur !$yg9s)ø9r& 4n<Î) z[11]NtƒótB  كلام زيد من البيت." يكون من البيت لابتداء الغاية.
4.      قال تعالى: عيسى مخلوق، وهو كلمة الله، فدل على أنه مخلوق.
من أهم الإعتراض على الدليل المذكور بأن عيس عليه السلام تجرى عليه ألفاظ، لاتجرى على القرآن. لأنه يسميه مولودا، وطفلا، وصبيا، وهو يخاطب بالأمر والنهي، ويجرى عليه اسم الخطاب، والوعد، والوعيد، ثم هو من ذرية نوح، ولايحل لنا أن نقول في القرآن مانقول في عيسى.
القرآن عند الأشاعرة   
زعموا الأشاعرة أن الكلام ينقسم إلى قسمين: كلام النفسى وكلام اللفظ. كلام النفسى هي صفة وجودية قائمة بذاته تعالى منزهة عن التقدم والتأخر واللحن والإعراب والصحة والإعلال وغير ذلك. والكلام النفسى (المدلول) تطلق على صفة القديمة القائمة بذاته تعالى وهو قديم. ولكن إذا يطلق على الألفظ التي نقرؤها، والأحرف التي يكتب في المصحف، فيسمى بلكلام اللفظ(الدلالة) وهو مخلوق. ومنه قول عائشة رضى عنه "ما بين دفتي المصحف كلام الله تعالى" أي مخلوق له ليس من تأليف المخلوقين.[12]
إذن، القرآن عند الأشاعرة وهو الألفاظ التى تقرؤها تدل على الكلام القديم. مثلا إذا سمعت قوله تعالى "لاتقربوا الزنا" فهمت منه النهي عن القربان الزنا، ولو أزيل عنك الحجاب لفهمت من الصفة القديمة هذا المعنى، فمدلول الكلام اللفظ هو مدلول الكلام النفسى.
أدلة الأشاعرة واهم الإعتراضات عليها
يعتمد الأشاعرة فى معالجة قضية القرآن بأدلة مختلفة منها نقلية وعقلية ولغوية كما يلي:
1.      قال الله تعالى:  #sŒÎ) x8uä!%y` tbqà)Ïÿ»uZßJø9$# (#qä9$s% ßpkôtR y7¨RÎ) ãAqßts9 «!$# 3 ª!$#ur ãNn=÷ètƒ y7¨RÎ) ¼ã&è!qßts9 ª!$#ur ßpkôtƒ ¨bÎ) tûüÉ)Ïÿ»uZßJø9$# šcqç/É»s3s9،[13] فالله تعالى لم يكذب المنافقين في ألفاظهم. وانما كذبهم فيما تكمنه ضمائرهم وسرائرهم. فدل على أنه حقيقة الكلام والقول.

2.      وقال رسول الله صلى الله هليه وسلم " يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان قلبه" فأخبر أن الكلام الحقيقي هو الذي في القلب دون النطق اللسان.   
3.      أن العربي يقول "كان في نفس االكلام" "وكام في نفس قول" وكان في نفس الحديث." وقال عمر رضي الله عنه "زورت في نفس كلاما، فأتى أبو بكر فزاد عليه، فسمى عمر ما في نفسه كلاما، قال الأخطل:
                                 إن الكلام لفي الفؤاد وانما.......جعل اللسان على الفؤاد دليلا
النقد على أدلة الأشاعرة
ما جاء في اللغة على لسان العرب "كان في نفس كلام" و نحو ذلك، فإننا لا نخالف في صحته- وإنما من كون لفظ الكلام إذا جاء مقيدا كان التقييد قرينة دالة على إخراجه من إطلاقه، ونحن نقر أنه قد يراد به المعانى أو الألفاظ بالقرائن فلما قيده العربى ها هنا بالنفس أخرجه من مطلق الكلام فكيف لكم أن تحتجوا بما هو مجازا على قواعدكم لتقرير ما هو الحقيقة؟ وذلك أنكم تقولون ما تصرفه القرائن عن حقيقته إنما هو المجاز هذا من وجه ومن وجه أخر.
فإن ما ذكره العربى حديث نفس وليس بالكلام أبدا- وحديث النفس ما لم يترجم بألفاظ فإنه لا قيمة له.
وأما قول عمر يوم السقيقة فجوابه من وجهين:
1.      أن التزوير كما يقول الأصمعى "إصلاح الكلام وتهيئته" فمعناه إذا أنه قدر في نفسه كلاما، وهيأه لم يتكلم به بعد فليس كلاما حتى يتكلم به، ومثاله من يقدر في نفسه أن يعمل عملا كان يصلى مثلا، ثم لا يفعل، فهل يقال أنه صلى في نفسه؟ مع أن القلب له عمل ، كما أن للجوارح عملا.
2.      لو صح ما قالوه بأن مطلق الكلام كلام النفس، فمن الممكن مطلق الكلام اللفظي والمعنى جميعا، وقد يراد أحدهما بقرينة، وهي موجودة في قول عمر المذكور ألا وهي التقيد بالنفس، فكيف صححتم تعريف الكلام المطلق بالكلام المقيد؟
أما الدليل الشرعى من قوله تعالى " إذا جاءك المنافقون.........إلخ، فهو غير الصحيح. لكن لا نختلف في أنه تعالى لم يكذب المنافقون في ألفاظهم، وقد سماه تعالى قولا فقال "قالوا نشهد" ولما كانت الألفاظ الموجودة غير كافية لإثبات إيمانهم وصدقهم فيه، وإنما يجب أن يقارنها إيمان القلب، واستقراره معنى ما قالوه فيه، لأجل ذلك كذبهم في دعواهم فالذى كذبهم الله تعالى فيه، إنما هو الدعوى المجردة، وعدم صحة ذلك منهم، ولم يكذبهم في صحة كون ما قطعوابه قولا وكلاما. كذلك ليس الخلاف في صدق القول، أو كذبه وإنما في ما هيته وحقيقته.
ونظير في النبي صلى الله عليه وسلم " يا معشر من آمن بلسانه" يحتمل أنهم قالوه بألسنتهم سرا يحدث بعضهم بعضا، بذالك هو قول بعض أهل التفسير.
هناك الإعتراضات الأخرى من المعتزلة والفلاسفة على نظرية الكلام النفسى عند الأشاعرة وهي ما يلى:
1.      التشكيك في أن الكلام كمال الله، لأن الكلام إما أن يكون من قبيل الكلام اللسانى العادى"وهو عبارة عن تقطيع الأصوات، وذلك يستدعى أن يكون البارى جرما وهو ممتنع". وإما يكون من قبيل ذلك الكلام النفسى، وهو غير خارج عن القدرة والإرادة والعلم وليس بصفة جديدة. وما وراء هذين الاحتمالين فغير معقول ولا متصور، فضلا عن أن يكون كمالا يثبته العقل للبارى تعالى. وهذا الاعتراض ينسب إلى الفلاسفة، وإن كان يختلط فيما يبدو بأفكار اعتزالية، كتفسير الأمر الإلهى بالإرادة. أما الاعتراضات التالية فهي للمعتزلة.
2.      المتكلم من فعل الكلام لا من قام به الكلام. فالكلام فعل من أفعال الله تعالى لا صفة من صفات ذاته.
3.       النصوص السمعية نفسها دالة على حدوث القرأن والكلام الإلهى المنزل، فكيف يكون صفة ذاتية قائمة بذات الله تعالى؟
4.       القرأن معجزة الرسول، فيجب أن يكون – كسائر المعجزات – فعلا لله تعالى لا صفة من صفات ذاته.  
5.      القرأن المجمع على أنه كلام هو هذا المسموع الملفوظ، كما صرح القرأن نفسه بذلك، "حتى يسمع كلام الله" فهو إذن لفظ وصوت حادثان، والحوادث لا تقوم بذات الله تعالى.
6.      الكلام أمر ونهي وخبر واستخبار، فكيف يكون الأمر ولا مأمور في الأزل، والخبر ولا مخبر عنه؟ إن هذا يفضى إلى الكذب.
ثم يتصدى الأشاعرة للإجابة عنها كما يلى:
1.       أما الاعتراض الأول فالعقل يقضى أن من ثبت له الكلام أكمل ممن لم يثبت له الكلام، كما سبق في مسألة الإرادة تماما. وكل ما في الأمر أن ننفى عنه لوازم النقص التى في البشر من الحاجة إلى الأعضاء الحسية ونحوها"ونحن لا نريد بالكلام غير المعنى القائم بالنفس، وهو ما يجد الإنسان من نفسه عند قوله لعبده: "ايتني بطعام أو اسقني بماء" وهذا يسمى كلاما في اللغة.
2.      أما القول بأن المتكلم هو من فعل الكلام، فهو متعارض مع نطق المحموم في هذيانه، ومخاطبة الحجر والذراع المسموم للنبى صلى الله عليه وسلم فقد سمي كلاما مع أنه ليس من فعل المتكلم طبقا لأصول المعتزلة أنفسهم.
3.      أما استدلالكم على ما تذهبون إليه في شأن كلام الله تعالى بالأدلة السمعية، فهو تناقض منهجي لا يتفق مع أصولكم. فضلا عن أن الظواهر التى تتمسكون بها يمكن حملها على معانى أخرى، فلفظ"جعل" مثلا في قوله تعالى "إنا جعلناه قرأنا عربيا" كما يفسر بالإبداع والتصيير يمكن تفسيره بالوصف والتسمية، كما في قوله تعال وجعلوا الملائكة الذين هم عباد الرحمن إناثا "وهكذا سائر ما ذكرتموه.
4.      وأما قولكم إن القرأن معجزة الرسول، فهو فعله تعالى كسائر المعجزات فمغالطة، لأننا نتفق معكم في  المسموعة مع أنها متقضية لإبقاء لها عندكم. وإذن فما نقرؤه الأن هو على مثال كلام الله وليس بكلام، هـ وتلك هي العقبة التى دعت شيخكم الجبائى إلى مكابرة الواقع وجحد الضرورة حين رغم أن الله تعالى متكلم مع كتابة كل كاتب وقراءة كل قارئ، ولم توافقوه عليه، فأينا المخالف للإجماع؟ فلا تنازع في أن ما جاء به الرسول من الحروف المنتظمة والأصوات المقطعة معجزة له، وأنه يسمى قرأنا وكلاما، وأن ذلك ليس بقديم، وإنما النزاع في مدلول تلك العبارات هل هو صفة قديمة أم لا؟ والطريق إلى حسم هذا النزاع الأخير، هو التفرقة بين التلاوة والمتلو والقراءة والمقرؤ، فالأول وهو المعجز- حادث عندنا وعندكم، والأخر قديم وأنتم ترفضون الخصوع للدليل القاضى بإثباته.               
5.      وبما سبق يندفع الاعتراض بأن القرأن المعجز مجمع على أنه ألفاظ وأصوات، وهي حادثة وغير قائمة بذاته تعالى المنزهة عن حلول الحوادث بها، فنحن نوافقكم على كل هذا. أما قولكم لو لم يكن كلامه تعالى صوتا لما سمعه موسى عليه السلام فإنما يرجع الخطأ فيه إلى بفسيركم معنى السماع بالإدراك بالإذن، مع أنه قد يطلق أيضا بمعنى الطاعة والخضوع، وقد يطلق بمعنى الفهم والإحاطة، "وإذا عرف ذلك فمن الجائز أن يكون قد سمع موسى كلام الله تعالى القديم، بمعنى أنه خلق له فهمه والإحاطة به إما بواسطة أو بغير واسطة، والسماع بهذا الاعتبار لا يستدعى صوتا.
الخلاصة
                فخلاصة القول، أن لكل منهم قول في أن القرآن مخلوق أو غير مخلوق ولديهم ما احتجوا به في تدعيم رأيهم من الحجج والأدلة. بل أليس من الأفضل للمسلم أن يعتقد مع هذا القرآن هو كلام الله الذي  أنزله على قلب محمد صلى الله عليه وسلم هدى للعلمين. وإعجازا باقيا إلى يوم القيامة، ألا يغنيه في هذا تأمل القرأن نفسه دراسته عن الدخول في هذه المآزق الكلامية؟



[1]  النواوي، شرح صحيح مسلم، ص. 131
[2]  الجرجاني، التعريفات، ص. 169
[3]  سورة الرعد الآية 16
[4]  سورة أل عمران الآية 175
[5]  سورة الزخرف الآية 3
[6]  سورة الأنعام الآية 1
[7]  سورة الحجر الآية 91
[8]  سورة الأنبياء الآية 2
[9]  سورة العنكبوت الآية 45
[10]  سورة النساء الآية 171
[11] سورة النحل الآية 106
[12]  الباجوري، حاشية الباجوري على متن السنوسية في عقيدة، ص. 72
[13]  سورة المنافقون الآية 1