Minggu, 30 Oktober 2011

Membaca Kifayatul Akhyar secara Manhaji




Hukum Islam atau yang sering disebut Fiqih merupakan disiplin ilmu yang sangat diminati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini tampak dari tema-tema yang diangkat dalam pengajian umum maupun forum-forum diskusi di pesantren yang kerap menjadikan Fiqih sebagai pokok pembahasannya. Bahkan terkesan kalau Fiqih merupakan ajaran yang paling inti dalam Islam. Akibatnya, menjadi sebuah aib atau bahan tertawaan jika ada santri setelah keluar dari pesantren tidak paham Fiqih atau tak mampu membaca kitab-kitabnya.
Posisi Fiqih bak penguasa dalam pemerintahan yang memiliki otoritas untuk melakukan intervensi kepada siapa saja. Sehingga proplem apapun bisa dipandang dan dijelaskan dalam perspektif Fiqih. Orang pesantren tidak perlu lagi belajar Ilmu Politik untuk menjelaskan bagaimana pemerintahan yang ideal. Akan tetapi, mereka cukup mengacu kepada kaidah Fiqih, “Tasharruful imam ‘alar-ra’iyyah, manuthun bil mashlaha. Begitu juga dalam membahas toleransi, mereka tidak perlu kuliah khusus toleransi untuk mengetahui kenapa toleransi itu adalah sebuah keharusan, tapi, cukup mengutip kaidah dalam Fathul  Mu’in, “daf’ dlarar ma’shumin.”
Sekilas hal ini menimbulkan kesan bahwa Fiqih terlalu menghegomoni dalam tubuh orang Indonesia, khususnya pesantren. Sebab, semuanya serba dijelaskan dengan Fiqih. Seolah-olah pesantren “lebay” dan terlalu kreatif dalam improvisasi. Apa hubungan Fiqih dengan Demokrasi, HAM, dan toleransi? Apakah dalam Fiqih dibahas mengenai Demokrasi, HAM, dan toleransi? Tentu saja tidak, namun begitulah kehebatan orang-orang pesantren dalam memahami turas agar relevan dengan konteksnya. Singkatnya, “al-muhafazhah alal-qadim ash-shalilh wal akhdz bil jadid al-ashlah.”
Fiqih bisa diibarat dengan pisau bermata dua, ia akan menjadi progresif apabila dibaca secara cerdas. Sebaliknya, bagi pembaca yang “salah paham” dengan Fiqih ia akan terjebak kepada taqlid yang membabi buta, atau kalau tidak ia akan menjadi orang yang anti Fiqih. Mengapa? Kita tahu bahwa kebanyakan kitab-kitab Fiqih yang diajarkan di berbagai pesantren di Indonesia, lebih kepada kitab yang ditulis dengan model komentar terhadap ulama salaf (model syarah).  Tradisi ini mulai perkembang pada era kemunduran umat Islam tepatnya ketika runtuhnya kota Bagdhad. Pada dekade ini, kebanyakan ulama tidak lagi produktif dalam menghasilkan karya-karya yang orginal, akan tetapi mereka lebih fokus dalam mengomentari karya ulama sebelumnya. Akhirnya, kita tidak lagi menemukan orang-orang seperti Imam Syafi’i, selaku penggagas Usul Fiqih dan lainnya pada tempo ini.
Kitab Fiqih yang ada dihadapan mata kita saat ini adalah hasil dari jerih payah ulama klasik. Pastinya, kitab ini ditulis dalam tempo waktu yang berbeda dengan saat ini. perbedaan waktu tentu juga berpengaruh terhadap kejadian, peristiwa, dan kondisi sosial yang ada pada waktu itu. walhasil, realitas ketika kitab terlahir dari pena penulisnya tidak  berbanding lurus dengan apa yang dihadapi oleh pembacanya saat ini.
Fakta semacam inilah yang penulis maksud dengan Fiqih ibarat bermata dua. Orang akan menjadi anti Fiqih atau jatuh kejurang taqlid ketika ia tidak memahami kapan Fiqih itu dibuat dan persoalan apa yang dihadapinya saat itu. bagi si pembaca yang seperti ini, ia kan mengklaim kalau kitab-kitab Fiqih klasik tidak relevan dengan zamannya, sebab tidak membahas persoalan aktual. Kemudian, bagi pembaca yang kedua akan terus menerus jatuh kejurang taqlid dan anti perubahan, karena yang ada dalam kitab Fiqih hanya pendapat-pendapat ulama yang terkadang tidak disebutkan alasan dan argumentasi. Sehingga menjadi sulit bagi kita untuk menumukan pijakan-pijakan rasionalitas dari pendapat yang ia munculkan. Padahal, permasalah selalu berkembang terus menerus tanpa henti, sedangkan teks sangatlah terbatas, demikian Ibn Rusyd menyebutkan.
Disinilah membaca kitab Kifâyatul Akhyâr fî halli ghâyatul ikhtishâr menemukan konteksnya. kitab ini ditulis oleh Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad al-Husaini al-Husni, seorang ulama yang berasal dari Damaskus. Sebenarnya kitab yang ditulis oleh ulama abad 9 ini adalah berupa komentar terhadap kitab ghayâtul ikhtisâr, karya Al-Qadhi Abu Syujak Ahmad al-Husain bin al-Isfahani (533-593 H). Imam al-Husni terbilang ulama yang prolifik sekaligus produktif kala itu, hal ini tampak dari banyaknya karya yang timbul dari ukiran pena beliau. Selain Kifayatul Akhyar beliau memiliki beberapa karya lain, seperti Syarah Tanbîh, Syarah Minhâj,  Syarah Muslim,  Talkhîs Takhrij AHadis Ihya, Talhkhisul Muhimmat,  Qawaid Fiqih,  Ahwalul Qubur, Siyaru Nisa` as-Salaf al-‘Abidat, Ta dibul Qaum, dan lain-lain.
Kifayatul Akhyar bukanlah kitab yang asing ditelinga kita. Kitab ini sudah dibaca berulang kali, bahkan ratusan kali oleh sebagian pesantren maupun kampus. Tapi persoalannya bagaimana cara membacanya, apakah dengan pembacaan taqlidi, “imani,” atau dengan pembacaan kritis-metodologis? Membaca Kifayatul Akhyar dengan model taqlidi atau “imani”, tidak akan menghasilkan sesuatu yang baru dalam kitab ini. sebab, kita hanyalah ibarat penumpang yang tidak tahu akan dibawa kemana. Dengan pembacaan seperti ini juga akan membuat Kifayatul Akhyar teraneliasi dengan konteks kekiniannya. Ia tidak lagi progresif sebagaimana dulu ketika ia dilahirkan oleh penulisnya. Tetapi, bedahlah kitab ini dengan model pembacaan yang ketiga, yakni kritis-metodologis (manhaji).
Jika ditelisik lebih dalam, sebetulnya Imam al-Husni sudah mendidik para pembacanya agar membaca persoalan Fiqih secara manhaji, bukan sekedar taqlid terhadap satu pendapat saja. hal ini dapat dilihat dalam penjelasan yang dipaparkan pada setiap babnya. Misalnya membincang hukum berwudhu` dengan air musyammas (air yang dipanaskan dengan cahaya matahari). Menurut ar-Rafi’i berwudhu`dengan air musyammas hukumnya makruh. Beliau berpendapat dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah, air musyammas dapat menimbulkan penyakit kusta (HR. al-Daraquthni dan al-Baihaqi). Kemudian pendapat ini juga didukung oleh pendapatnya Umar, yang juga memakruhkan berwudhu` dengan air musyammas.
Namun, ketika menjelaskan persoalan ini, imam al-Husni tidak menerima begitu saja pendapat ar-Rafi’i yang juga diamini oleh Abi Syuja`. Beliau melakukan analisa yang tajam terkait hukum Hadis yang dijadikan pegangan oleh ar-Rafi’i dalam mengukuhkan pendapatnya. Menurut mayoritas ahli Hadis, sebagaimana yang juga dijelaskan dalam Syarah Muhadzab, Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah hukumnya dhaif, bahkan ada yang mengklaim Hadis ini maudhu’.  Begitu juga dengan pendapat Umar Bin Khattab, riwayat ini dhaif karena ada rawi yang bernama Ibrahim bin Muhammad, menurut mayoritas ahli Hadis rawi ini adalah dhaif.
Ternyata, perdabatan ini tidak selesai dengan mengklaim kalau riwayat ini dhaif. al-Husni membawa kita kepada persoalan yang lebih pelik lagi. Pasalnya, walaupun mayoritas ahli Hadis berpendapat bahwa Hadis ini ini Dhaif, akan tetapi, menurut as-Syafi’i riwayat ini adalah sahih, pendapat ini juga diamini oleh al-Daraquthni. Kondisi seperti ini membuat kita bimbang diantara dua pilihan, apakah berpatokan kepada as-Syafi’i atau berkiblat kepada mayoritas ahli Hadis? Jelas, perbedaan ini timbul karena berbedanya metodologi yang dipakai ulama dalam menghukumi sebuah Hadis. Oleh sebab itu, kita dituntut untuk menyelesaikan perdebatan ini dengan menganalisa manhaj (metodologi) yang digunakan masing-masing ulama. Bukan hanya sekedar taqlid terhadap satu pendapat tanpa mengetahui argumentasinya. Bisa jadi kesimpulan kita akan sama dengan ulama sebelumnya, bisa jadi tidak. Sebab yang diikuti bukanlah pendapatnya, akan tetapi metodologinya.
Dengan pembacaan model ini akan menjadikan Fiqih lebih aktual dan relevan dengan zamannya. Sehingga persoalan apapun yang muncul akan terjawab, sekalipun itu tidak ditemukan dalam kitab klasik. Perdebatan mengenai hukum air musyammas ialah segelintir dari persoalan yang disinggung dalam Kifayatul Akhyar. Sangat banyak amstal yang harus diungkap dalam kitab ini, yang tidak mungkin untuk dijelaskan dengan keadaan kertas yang serba terbatas ini. Yang terpenting pelajarilah bagaimana metodologi (Mahhaj) yang dipakai al-Husni dalam menjelaskan masalah-masalah Fiqih. Setelah itu, bacalah Kifayatul Akhyar sebagaimana al-Husni membaca.   





Tidak ada komentar:

Posting Komentar