Rabu, 12 Oktober 2011

Meneguhkan kearifan lokal



Indonesia memiliki masyarakat yang majemuk dan sekaligus mempunyai tradisi yang bervarian antara satu sama lainnya. Mengkaji kearifan lokal atau yang sering disebut local wisdom dari masing-masing tradisi adalah sebuah kajian yang sangat menarik dan urgen dewasa ini. Apalagi di tengah menghadapi hiruk-piruk globalisasi dan modernisasi.
Selain itu, membincang kearifan lokal membantu kita untuk menemukan aspek-aspek  rasional dalam tradisi lokal. Dari perspektif ini, dapat dipahami bahwa tradisi bukanlah benda mati yang lahir begitu saja, akan tetapi ia mempunyai dimensi historis dan nilai-nilai rasionalitas yang membuatnya tetap eksis di tengah masyarakat sampai saat ini.
Apalagi dalam menghadapi isu-isu kontemporer yang berkembang dan muncul di barat, yang  kemudian mulai menemukan lahan suburnya di Indonesia. Ibarat cendawan yang tumbuh mekar di musim hujan, wacana demokrasi, pluralisme, feminisme, dan HAM mulai marak dibicarakan dan menjadi arena perdebatan dikalangan akedemisi dan intelektual. Terkadang masyarakat pribumi (subaltern), merasa asing dan anti terhadap isu-isu seperti itu, apalagi wacana kontemporer ini berkembang dan muncul di barat. Anehnya, mereka merasa takut dan mengalami post-ideology syndrom- meminjam istilah Hasan Hanafi-untuk selalu curiga terhadap segala hal yang berbau barat, terutama hasil-hasil pemikirannya.
Selama ini, selalu dipahami dan dibayangkan bahwa Barat sebagai sosok superior yang bisa melakukan apa saja yang mereka inginkan. Ditambah lagi, segala hal yang berbau rasional, modern, dan maju selalu disandarkan kepada barat. Sedangkan timur, termasuk Indonesia dianggap makhluk kecil, yang tidak ada gunanya di hadapan barat. Mereka hanya ibarat budak, dijajah dan dibelenggu otaknya sehingga tidak bisa menghirup udara segar di luar sana. Apalagi klaim-klaim kemunduran dan kejumudan yang selalu disandingkan dengan dunia timur.
Pemahaman dan distorsi semacam inilah yang ditentang dan dilawan oleh Hasan Hanafi dalam karyanya Oksidentalisme, Edward Said dalam karya monumentalnya orientalism, dan Bryan S. Turner dengan bukunya Runtuhnya Universalis sosiologi barat. Usaha dan hasil ide, gagasan serta pemikiran yang mereka tuangkan dalam tulisan-tulisannya, termasuk sebagai langkah dan upaya untuk melawan hegemoni barat yang semakin menggurita. Mereka berusaha agar mengembalikan identitas timur atau islam yang selama ini dijajah oleh bangsa eropa atau barat dengan cara imprealis dan westernisasi yang memiliki tendensi untuk timbulnya hegemoni barat.
secara tidak sadar proyek yang digarap Hasan Hanafi, Edwar Said, dan beberapa pemikir lainnya, termasuk Al-jabiri, mencoba untuk kembali menghadirkan dan menghidupkan tradisi yang sudah mati terbunuh dalam memori setiap individu maupun kolektif.  sehingga suatu saat mereka akan bangga dengan tradisinya sendiri dan menjadikanya sebagai ciri khas dan identitas lokal.
Oleh sebab itu,  memahami Kearifan lokal yang tercermin dan tegambar dalam sebuah tradisi, harus dipamahi secara cermat dan cerdas agar bisa dipakai sebagai pisau analisa sekaligus counter ideology dalam mengahadapi hegemoni ideologi. Sebagaimana yang dikatakan Geertz, tradisi haruslah dilestarikan sebagai landasan pijakan dalam mengadapi setiap ideologi yang berkembang.
Menggali dan menghidupkan Tradisi
Menurut Teezzi, Marchetti, dan Rosini, pada gilirannya kearifan lokal akan menjelma menjadi sebuah tradisi atau agama. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari (DalamAli Ridwan; 2007).
Seperti yang disinggung diatas, tradisi tidak bisa diterima dan diabaikan begitu saja. Ia akan mati dan terbunuh, bak tanaman yang tak disirami air, jika tidak ditelaah secara regresif dan progresif. Memang, tradisi adalah benda kuno yang diwariskan nenek moyang dan pendahulu-pendahulu bangsa ini kepada generasi sesudahnya. Namun, jangan terburu-buru mengambil kesimpulan kalau tradisi itu kuno dan tidak sesuai dengan zaman modern saat ini.
Agar sebuah tradisi menjadi hidup dan relevan dengan zamannya, diperlukan usaha dan upaya untuk menemukan kearifan dan landasan filosofis yang terdapat di dalamnya. Misalnya, di minangkabau sistem pemerintahannya dikenal dengan nagari. Ia sebagai unit otonom dalam struktur politik yang mengatur masyarakat minangkabau dan sekaligus merupakan lembaga masyarakat yang mengatur segalanya. Tetapi, dalam  komunitas ini, mereka hidup berbasis dan terlatih untuk berdemokrasi. Setiap masalah selalu diselasaikan dengan cara musyarwarah dan mufakat. Seperti kata pepatah,  duduk sama rendah berdiri sama tinggi;tahu menempatkan mana yang menjadi hak dan kewajiban dalam norma hukum dan adat.
Bahkan menurut kartikawening, dalam tesisnya Public Space Dinamic in Minangkabau Rural Area Indonesia, jika diperhatikan gambaran sistem pemerintahan minangkabau atau nagari, egalitarianisme di Minangkabau sesungguhnya lebih awal dari praktik politik modern Barat yang dikenal dewasa ini. apalagi dalam sejarah kerajaan pagaruyung-sebuah kerajaan yang terkenal di Sumatra Barat- tidak mengenal sentralisasi kekuasaan monarki yang mengarah kepada otoritarianisme (dalam Zulhasril; 2007)
Berdasarkan hal ini, dapat dipahami bahwa wacana demokrasi yang dewasa ini menjadi suatu hal yang patut dikaji dan diterapkan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Ternyata sudah dipraktekan dan dilaksanakan oleh pendahulu-penduhulu kita, sejak dahulu kala. Dengan pemahaman seperti ini, kita tidak perlu lagi untuk perlu  lagi khawatir dan cemas terhadap demokrasi dan isu-isu lainnya yang sudah menjadi tradisi lokal dalam sebuah daerah.
Sebenarnya masih banyak kearifan lokal dan landasan filosofis yang harus digali dan dicermati dalam sebuah tradisi. Dengan cara seperti ini, kita tidak perlu lagi takut, ragu, dan cemas terhadap wacana dari Barat yang berkembang di Indonesia. karena pada dasarnya, indonesia pun memiliki tradisi yang lebih canggih daripada mereka. Bahkan kita sudah mempraktekknya beberapa abad yang silam. Sekarang tinggal bagaimana pengemasannya agar kelihatan lebih elegant dan paralel dengan zaman modern. Sebagaimana yang ditegaskan al-Jabiri, melacak dimensi historis dalam turas sangat diperlukan, agar turas atau tradisi menjadi satu dan paralel (wasal binâ) dengan realita zaman ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar