Rabu, 12 Oktober 2011

Membaca Nurbaya, Membaca Diri



Ketika disebut nama Nurbaya atau yang lebih akrab dengan Siti Nurbaya, ingatan dan memori kita langsung menuju kepada seorang gadis cantik yang dipaksa nikah oleh orang tuanya dengan lelaki tua yang tidak dicintainya. Nurbaya menjadi korban dari ketidakmampuan bapaknya, baginda sulaiman untuk melunasi seluruh hutang-hutangnya kepada Datuk Maringgih. Akibatnya, sejak nurbaya dinikahi datuk Maringgih, seorang lelaku tua dan bejat yang tak pernah ia sukai, hidupnya sangat menderita. bahkan, kesedihan dan tangisan menjadi teman yang selalu menemaninya disaat kesepian. Terlebih lagi, ketika mengingat kenangan, rayuan–rayuan, dan pantun-pantun yang terlontar dari mulut Samsu (Samsul Bahri), yakni sahabat sekaligus kekasih Nurbaya. 
Hikayat Siti Nurbaya ini sudah tidak asing lagi ditelinga. Bahkan, ia kerap dijadikan muda-mudi sebagai dalil atas tidak bolehnya memaksa seorang anak perempuan dengan laki-laki yang tidak ia cintai. Hal ini sebagaimana yang tergambar dalam lagu Dewa 19 berjudul Siti Nurbaya. Dalam tulisan ini, kami tidak akan mengulang kembali bagaimana sejarah hidup ataupun kisah hidup Nurbaya dari awal sampai akhir. Barang siapa yang ingin tahu ceritanya lebih dalam, silahkan baca buku yang ditulis Marah Rusli, berjudul Siti Nurbaya; Kasih Tak Sampai, terbitan balai pustaka, dan tebalnya sekitar 300 halaman.
Mambaca bukan hanya sekedar membaca. Membaca juga bukan berati menjadikan objek bacaan itu sebagai raja yang menguasai diri kita. Membaca tidak seperti kita bercermin, ketika A bercermin, lalu yang keluar atau yang tampak dalam cermin adalah  bayangan A. Akan tetapi, bagaimana caranya ketika A bercermin, kemudian yang tampak bukanlah A lagi, tapi B, C, ataupun yang lainnya. Maksudnya, dalam membaca sebuah buku ataupun yang lainnya, harus diupayakan adanya dialektika antara diri kita sendiri dengan objek yang dibaca atau dianalisa. Sehingga dalam hal ini  diri pembaca tidak larut dan tenggelam dalam objek,  serta tidak menghilangkan keakuan.  
Dalam konteks membaca siti nurbaya, selain mengenal atau mengetahui pahit dan hancurnya hidup Nurbaya, disana terdapat sesuatu hal yang lebih urgen lagi. Jika membaca lebih cermat lagi buku berjudul Siti Nurbaya; kasih tak sampai, ada beberarapa ulasan dan buah tangan yang dapat diambil sebagai renungan untuk mengisi kekinian kita. Terkususnya pada dialog antara Alimah dengan Nurbaya seputar nasib perempuan dan perdebatan antara ahmad maulana dengan istrinya tentang beristri banyak.  
Adapun yang dimaksud disini bukanlah mempertentangkan ataupun mengkritisi ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang bolehnya beristri lebih dari satu, tidak sama sekali. Juga bukan berati memperdebatkan hadis-hadis yang dianggap sebagai misoginis atau merendahkan derajat perempuan. Dengan kata lain, juga tidak bermaksud untuk mengotak-atik ayat al-Qur’an ataupun hadis yang seakan-akan merendahkan perempuan daripada laki-laki. Sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian tokoh muslim yang mengusung tema perempuan.  
Seperti yang diceritakan Marah Rusli, kondisi dan praktek adat pada waktu itu sangat berpihak kepada laki-laki. Artinya, kebanyakan peraturan-peraturan adat sangat tidak menguntungkan bagi kaum perempuan. Perempuan hanya dijadikan sebagai pemuas dan pelengkap kehidupan lelaki semata. Ditambah lagi dengan beredarnya kabar bahwa laki-laki yang berasal dari keluarga terhomat atau dari nasab yang bagus, maka akan menjadi aib bagi dia kalau tidak mempunyai istri lebih dari satu. Apa yang dipraktekan Sutan Hamzah dan keluarganya misalnya, mereka menganggap saudaranya, Sutan Mahmud merusak nama baik keluarga, lantaran ia tidak menikahi perempuan lebih dari satu. Padahal bagi sutan Mahmud, pandangan seperti tak ubahnya seperti hewan.
Tradisi, adat, dan kepercayaan seperti inilah yang ditentang oleh Ahmad Maulana, bapak angkat Siti Nurbaya. Sekalipun ia seseorang laki-laki, namun pikirannya sangat tidak setuju kalau perempuan dimadu, walaupun ada legalitas dari adat dan agama. Berbeda dengan istrinya, yang setuju atau rela kalau suaminya punya istri banyak, bahkan disuruhnya. Kalau dilihat dari praktek dan realita yang ada dan ditimbang baik dan buruknya,  beristri banyak memberikan dampak negatif yang besar daripada manfaatnya. Tak jarang di Minangkabau perempuan yang dimadu saling bermusuhan dan saling jauh-menjauhi. Bahkan diantara mereka ada yang mengambil jalan pintas, seperti pergi ke dukun untuk minta pekasih (pelet) agar suaminya lebih cinta terhadap dia daripada madunya. Apalagi, Sudah ketetapan tuhan jua kalau mata manusia ini condong kepada nan rancak. Sehingga, kebanyakan para suami lebih menyayangi istri yang muda daripada yang tua, atau lebih cinta terhadap istri yang cantik daripada yang buruk. Akibatnya, terjadilah ketidakadilan dan ketidak harmonisan dalam rumah tangga.
Alimah, anak dari ahmad maulana adalah salah satu korban dari ketidak-adilan suaminya. Suaminya menikah dengan perempuan yang lebih kaya daripada alimah. Sejak ia menikah dengan wanita lain, alimah tiada diindahkan lain. Anehnya lagi, suaminya tidak mau menceraikannya. Alimah sempat berpikir, kenapa talak itu harus ditangan laki-laki bukan perempuan? Sejak itu, alimah bersumpah tida mau kawin lagi, ia merasa pernikahan itu tidak  ada gunanya. Kebahagian yang ia impikan dari pernikahan tidak tercapai, malah yang ia dapatkan sakit hati, badannya rusak, dan hartanya habis.
“Memang demikianlah nasib perempuan. Adakah akan berubah peraturan kita ini? adakah kita akan dihargai laki-laki kelak ? biar tak banyak, sekedar untuk keperluan hidup saja, cukuplah. Aku tiada hendak meminta supaya perempuan disamakan betul dengan laki-laki dalam segala hal, karena aku pun mengerti juga, tentu tak boleh terjadi. Tetapi permintaanku, hendaknya laki-laki itu menganggap perempuan sebagai adiknya,” tutur Nurbaya kepada Alimah. kita tahu laki-laki lebih unggul daripada perempuan dan laki-laki mempunyai kekuatan yang lebih daripada perempuan. Selain takdir tuhan yang menetapkan semua ini, lingkungan dan pekerjaan  yang dilakoni laki-laki juga turut andil dalam pembentukan dan perkembangan  fisik dan otaknya. Lihat saja pekerjaan anak laki-laki lebih banyak menguras tenaga dan pikiran. Sedangkan pekerjaan yang dimainkan perempuan sama sekali tidak mendukung dalam perkembangan otak apalagi fisik. Terlebih lagi,  sebagian orang tua tidak mau menyekolahkan anak perempuan, lantaran adanya anggapan bahwa perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi, karena pada akhirnya ia pun hanya sebagai pelayan suaminya kelak. Kemudian, anak perempuan ketika umurnya mulai meranjak dewasa, ia tidak diperbolehkan keluar rumah dan bergaul sembarangan dengan lingkungan sekitarnya. Perempuan dirawat dan dijaga ketat, bak intan dan mutiara agar tidak dicuri dan dirusak orang lain.
Melihat fenomena semacam ini, wajar kalau laki-laki lebih unggul daripada perempuan. Namun bukan berati kelemahan ataupun kekurangan yang dimiliki oleh perempuan dijadikan alasan untuk menghinakan dan merendahkan perempuan. Posisi dan kedudukan perempuan tidak bisa dinegasikan atau dikronfontasikan, salah besar jika ada orang yang suka membandingkan mana yang unggul antara laki-laki perempuan dan juga sangat keliru ketika ada yang menyamakan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal. Karena, laki-laki dan perempuan adalah dua “letakkanlah sesuatu pada tempatnya,” begitulah seharusnya memposisikan antara laki-laki dan perempuan. 
Dalam pandangan Nurbaya, tidak ada alasan bagi kaum lelaki untuk memandang perempuan itu sebagai budak dalam rumah tangga. seharusnya Posisi laki-laki dan perempuan ibarat menteri luar negeri dan dalam negeri, mereka mempunyai pekerjaan, tanggung jawab dan kedudukan masing-masing. Antara dua menteri ini tidak bisa dibandingkan ataupun diunggul yang satu dengan yang lainnya. Sebab, mereka berbeda dan tidak sama. Pendeknya, kedudukan perempuan dan laki-laki, ibarat agama dan filsafat yang tidak bisa disandingkan dan dilawankan. Biarlah mereka berjalan di rel dan arusnya masing-masing…..  










Tidak ada komentar:

Posting Komentar